Friday, 14 August 2015

Media Dongeng Menuju Anak yang Mulia



Di Indonesia dulunya, dongeng merupakan cerita yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris. Bila bulan purnama datang dengan bentuknya yang bundar keemasan, anak-anak menggelar tikar di halaman rumah. Nenek atau kakek mendongeng di atas tikar dengan dikelilingi oleh cucunya. Kemudian angin sepoi bertiup mendesirkan daun-daunan. Sungguh, peristiwa yang romantis! Pada saat seperti ini, kerekatan dan kekerabatan menemukan bentuknya dengan berintikan jalinan kasih sayang antara generasi tua dan generasi penerusnya. Dongeng yang kadang-kadang berupa fable yang mengisahkan tentang satwa akan sangat membantu rasa sayang pada binatang dan juga cerita tentang manusia yang bisa menjadi contoh teladan bagi kehidupan. Tidak kurang pentingnya adalah cerita tentang para rasul dan nabi serta ketauladanan para sahabat yang mulia. Cerita-cerita yang mengandung ajaran akhlak mulia seperti itu sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian anak-anak dan para santri. Bahkan dalam pengajian-pengajian kisah teladan yang mengandung hikmah perlu disampaikan untuk memberi pencerahan.
Dalam penelitian, dongeng ternyata menyimpan banyak kearifan moral yang bisa mengetuk dunia rohani manusia, termasuk anak-anak, untuk melihat kehidupan di dunia ini dengan pandangan yang bertumpu pada hati nurani. Sebab, pada umumnya ajaran yang terdapat pada dongeng adalah kejujuran, kasih-sayang sesama manusia, dan kasih-sayang pada makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan.
Seorang pengamat Barat, Lewis Caroll mengatakan bahwa dongeng adalah “tanda kasih”. Berkisah dan mendongeng adalah memberi hadiah – tanda kepedulian dan keterbukaan. mendongeng adalah memberi kesadaran pada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, misteri dan penghormatan pada kehidupan. Karena itu, saya sangat gembira pada usaha anak-anak muda yang berupaya menghidupkan kembali dongeng-dongeng dengan mengadakan lomba dongeng. Usaha seperti itu tidak lain adalah wujud dari kepeduliaan para warisan budaya yang sengaja diorientasikan kepada tantangan masa depan dengan mengetengahkan tema mencintai kemanusiaan, satwa dan tumbuh-tumbuhan.
Ketika banyak orang-orang yang sudah tidak peduli kepada budaya warisan leluhurnya, sementara kearifan dari luar juga tidak diraup, maka upaya melestarikan kearifan tradisional yang masih relefan dengan masa depan dan perkembangan jaman sudah tentu punya nilai yang sangat berharga, karena menunjukkan bangkitnya tanggung-jawab kebudayaan. Usaha ini saya nilai sebagai langkah pertama yang harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya. Saya berharap semoga generasi muda yang tampil hendak merevitalisasi warisan budaya itu tetap tegar dengan tanggung-jawabnya dan terus melangkah menuju hari esok dengan senyum optimis. Kata pepatah lama, biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu – berbantal ombak berselimut angin menuju cita-cita mulia. Semoga usaha kebudayan ini mendapat sambutan dari masyarakat terutama untuk kembali mengangkat dongeng sebagai salah satu bentuk sastra lisan yang nuansa-nuansanya akan sangat berguna dalam memperkokoh jati diri kebudayaan bangsa dalam era globalisasi yang penuh tantangan.
Dengan diupayakan dongeng sebagai ungkapan kasih-sayang tentu saja para ibu dan guru diharapkan bisa dengan senang menghadiahkan dongeng kepada anak-anak tercinta. Ungkapan kasih-sayang berupa dongeng nantinya akan membentuk watak dan karakter berdasarkan pesan-pesan budi pekerti yang terkandung di dalam dongeng. Tidak ada salahnya kalau anak-anak yang kini masih hijau dan senang dongeng nantinya menjadi teknolog dan teknolokrat yang berakhlak mulia, yang merasa berhutang budi kepada orang tua dan guru yang mendidiknya. Bukankan akhlak mulia itulah yang membuat kehidupan ini menjadi tentram? Kita tidak ingin kehilangan warisan budaya yang berharga. Apalagi, kita memandangnya masih sangat relevan dengan pembangunan jati-diri bangsa yang menuju hidup mulia.



No comments:

Post a Comment