Haji berasal dari Bahasa Arab : حج
syahadat,
salat
5 waktu, mengeluarkan zakat dan puasa di bulan Ramadhon. Menunaikan
ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum
muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di
Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai
musim haji (bulan
Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah
umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
(Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah mengucap dua kalimat
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di
Mina,
wukuf (berdiam diri) di
Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi
setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya
Idul Adha sebagai
Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju, mengunjungi, atau berziarah. Menurut etimologi (bahasa) kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah
dan tempat-tempat tertentu untuk memenuhi panggilan Allah dan
mengharapkan rida – Nya yang telah ditentukan syarat dan waktunya serta
melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan
temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka’bah dan
Mas’a(tempat sa’i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud
dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal
sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu
ialah thawaf, sa’i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
Apabila seorang muslim menjalankan ibadah haji maka ia akan di beri gelar haji, haji adalah sebutan atau
gelar untuk pria
muslim yang telah berhasil menjalankan ibadah
haji.
Umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat
dengan “H”. Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya
dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di
daerah mereka. Bisa dikatakan sebagai
guru atau panutan untuk memberikan contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi
Islam sehari-hari.
B. Hukum Haji
Hukum menunaikan ibadah haji
adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu dan berkewajiban itu hanya
sekali seumur hidup. Apabila melakukannya lebih dari satu kali, maka
haji yang kedua dan seterusnya hukumnya sunnah.
1. Sesuai dengan firman Allah dalam Surah Ali – Imran (3) : 97.
Artinya : Dan (diantara) kewajiban
manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah,
yaitu bagi orang – orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana.
Adapun yang dimaksud istita’ah (mampu dan kuasa) dalam melaksanakan ibadah haji adalah sebagai berikut.
1. Menguasai tata cara pelaksanaan haji
2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah:
(a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan,
(b) sehat jasmani , artinya tidak dalam keadaan sakit atau mengidap
penyakit yang dapat membahayakan dirinya atau jemaah lain. Selain itu
juga adanya persiapan mental dengan cara menyucikan hati seperti berdoa,
berzikir atau bersedekah,
(c) jalan penuh rasa aman,
(d) mampu melakukan perjalanan.
3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan:
(a) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah
(b) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian,
(c) penunaian utang.
4. Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah:
(a) ditemani suami atau mahrom,
(b) tidak berada dalam masa ‘iddah.
5. Memiliki biaya untuk perjalanan ke tempat haji.
2. Dalil As Sunnah
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ
، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah
utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa
di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).
Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ
فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ
حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, “Wahai
sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka
berhajilah.” Lantas ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setiap
tahun (kami mesti berhaji)?” Beliau lantas diam, sampai orang tadi
bertanya hingga tiga kali. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bersabda, “Seandainya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu
haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian
sanggup” (HR. Muslim no. 1337). Sungguh banyak sekali hadits yang
menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang
amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib.
B. Latar Belakang Ibadah Haji
Orang-orang
Arab
pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi
dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan
tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf,
sa’i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang
tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam
datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan
apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara’ (syariat), sebagaimana
yang diatur dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Latar belakang ibadah haji
ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi
dalam agama Islam, terutama
nabi Ibrahim (nabinya agama
Tauhid). Ritual
thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual
sa’i, yakni berlari antara bukit
Shafa dan
Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka’bah yang sudah menjadi satu kesatuan
Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya
nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya
nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.
C. Jenis Ibadah Haji
Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis
ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan
dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
Aisyah RA berkata: Kami berangkat
beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Di antara
kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram
untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah
berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia
mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai
dengan selesai dari nahar.
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.
- Haji ifrad,
berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang
bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya,
orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah
haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk
melaksanakan umrah.
- Haji tamattu’, mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul.
Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji,
ditahun yang sama. Tamattu’ dapat juga berarti melaksanakan ibadah di
dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu
pulang ke negeri asal.
- Haji qiran,
mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang
dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk
melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap
berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun
dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama.
Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua
thawaf dan dua sa’i.
E. Syarat Sah Haji
1) Islam
2)Berakal
3) Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu
(pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. ‘Abullah bin ‘Umar,
mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu tersebut
adalah bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan
Dzulhijja 4) Miqot makani,
artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat
tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya.
Wukuf dilakukan di daerah Arofah. Thowaf dilakukan di sekeliling Ka’bah.
Sa’i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya.
F. Rukun Haji
Rukun haji adalah rangjaian amalan haji yang harus dikerjakan.
Apabila amalan tersebut tidak dikerjakan. Apabila amalan tersebut tidak
dikerjakan maka ibadah hajinya tidak sah atau batal dan tidak boleh
diganti dengan dam atau denda. Akan tetapi, harus mengulang hajinya pada waktu yang lain.
Adapun yang termasuk rukun haji adalah sebagai berikut.
- Ihram
- Wukuf di Arafah
- Thowaf ifadhoh
- Sa’i
- Tahalul (bercukur)
- Tertib dan berurutan.
Jika salah satu dari rukun ini tidak ada, maka haji yang dilakukan tidak sah.
Rukun pertama: Ihram
Yang dimaksud dengan ihram adalah niatan untuk masuk dalam manasik
haji. Siapa yang meninggalkan niat ini, hajinya tidak sah. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Wajib ihram mencakup:
- Ihram dari miqot.
- Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau
anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah,
mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak
mendapati khuf). Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup
wajah) dan sarung tangan.
- Bertalbiyah.
Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya
dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika
berniat ketika telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai
di miqot. Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap
telah melewati miqot tanpa berihram.
Lafazh talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ.لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ
لَبَّيْكَ.إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكُ.لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”.
(Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu, aku
menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu.
Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu,
tiada sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki disunnahkan
mengeraskan suara.
Rukun kedua: Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang paling penting. Siapa yang
luput dari wukuf di Arafah, hajinya tidak sah. Ibnu Rusyd berkata, “Para
ulama sepakat bahwa wukuf di Arafah adalah bagian dari rukun haji dan
siapa yang luput, maka harus ada haji pengganti (di tahun yang lain).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud wukuf adalah hadir dan berada di daerah mana saja di
Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk,
berbaring atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak suci
(seperti haidh, nifas atau junub) (Fiqih Sunnah, 1: 494). Waktu
dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai dari matahari tergelincir
(waktu zawal) pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar
Shubuh (masuk waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika
seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut, wukufnya tidak sah
berdasarkan kesepakatan para ulama (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 17: 49-50).
Jika seseorang wukuf di waktu mana saja dari waktu tadi, baik di
sebagian siang atau malam, maka itu sudah cukup. Namun jika ia wukuf di
siang hari, maka ia wajib wukuf hingga matahari telah tenggelam. Jika ia
wukuf di malam hari, ia tidak punya keharusan apa-apa. Madzab Imam
Syafi’i berpendapat bahwa wukuf di Arafah hingga malam adalah sunnah
(Fiqih Sunnah, 1: 494).
Sayid Sabiq mengatakan, “Naik ke Jabal Rahmah dan meyakini wukuf di situ afdhol (lebih utama), itu keliru, itu bukan termasuk ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Fiqih Sunnah, 1: 495)
Rukun ketiga: Thowaf Ifadhoh (Thowaf Ziyaroh)
Thowaf adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat-syarat thowaf:
- Berniat ketika melakukan thowaf.
- Suci dari hadats (menurut pendapat mayoritas ulama).
- Menutup aurat karena thowaf itu seperti shalat.
- Thowaf dilakukan di dalam masjid walau jauh dari Ka’bah.
- Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthowaf.
- Thowaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran.
- Thowaf dilakukan berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
- Memulai thowaf dari Hajar Aswad.
Catatan:
- Ulama Syafi’iyah berkata, “Jika idh-tibaa’ dan roml dilakukan saat
thowaf qudum kemudian melakukan sa’i setelah itu, maka idh-tibaa’ dan
roml tidak perlu diulangi lagi dalam thowaf ifadhoh. Namun jika sa’i
(haji) diakhirkan hingga thowaf ifadhoh, maka disunnahkan melakukan
idh-tibaa’ dan roml ketika itu (Fiqih Sunnah, 1: 480).
- Tidak ada bacaan dzikir atau do’a tertentu untuk setiap putaran saat
thowaf. Sebagian jama’ah menganjurkan demikian, namun tidak ada dalil
pendukung dalam hal ini, bahkan sering memberatkan.
Rukun keempat: Sa’i
Sa’i adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْعَوْا إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
“Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Syarat sa’i:
- Niat.
- Berurutan antara thowaf, lalu sa’i.
- Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela
waktu sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika
benar-benar butuh.
- Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran.
- Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.
Rukun kelima : Tahallul
Tahalul (bercukur), yaitu menggunting rambut sebagai tanda mengakhiri
rangkaian ibadah haji / umrah dengan kadar minimal 3 helai rambut.
Tahalul termasuk salah satu rukun haji sebagai penghalal terhadap
beberapa hal yang diharamkan dalam haji
Rukun keenam : Tertib dan berurutan
Yaitu melaksanakan semua amalan haji yang termasuk rukun Islam secara berurutan dari awal sampai akhir.
F. Wajib Haji
Rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai
pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam
(denda).
Yang termasuk wajib haji adalah ;
- Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
- Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Zulhijah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina)
- Melontar Jumrah Aqabah tanggal 10 Zulhijah
- Mabit di Mina pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
- Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
- Tawaf Wada’, Yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah.
- Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram.
G. Sunah Haji
a. Sunah-Sunnah Ihram:
1. Mandi ketika ihram
Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti pakaiannya untuk ihram lalu
mandi.
2. Memakai minyak wangi di badan sebelum ihram
Berdasarkan hadits ‘Aisyah ia berkata, “Aku pernah memberi wewangian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ihramnya sebelum berihram
dan untuk tahallulnya sebelum melakukan thawaf di Ka’bah.”
3. Berihram dengan kain ihram (baik yang atas maupun yang bawah) yang berwarna putih
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berangkat dari Madinah setelah beliau menyisir rambut
dan memakai minyak, lalu beliau dan para Sahabat memakai rida’ dan izar
(kain ihram yang atas dan yang bawah).
Adapun disunnahkannya yang berwarna putih berdasarkan hadits Ibnu
‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِّ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ.
“Pakailah pakaianmu yang putih, sesungguhnya pakaian yang putih
adalah pakaianmu yang terbaik dan kafankanlah orang-orang yang wafat di
antara kalian dengannya.”
4. Shalat di lembah ‘Aqiq bagi orang yang melewatinya
Berdasarkan hadits ‘Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di lembah ‘Aqiq:
أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا
الْوَادِي الْمُبَارَكِ، وَقُلْ: عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
“Tadi malam, telah datang kepadaku utusan Rabb-ku dan berkata,
‘Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan (niatkan) umrah
dalam haji.’”
5. Mengangkat suara ketika membaca talbiyah
Berdasarkan hadits as-Saib bin Khalladi, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِاْلإِهْلاَلِ أَوِ التَّلْبِيَةِ.
“Telah datang kepadaku Jibril dan memerintahkan kepadaku agar aku
memerintahkan para Sahabatku supaya mereka mengeraskan suara mereka
ketika membaca talbiyah.”
Oleh karena itu, dulu para Sahabat Rasulullah berteriak. Ibnu Hazm
rahimahullah berkata, “Dulu ketika Sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berihram suara mereka telah parau sebelum mencapai
Rauha.”
6.Bertahmid, bertasbih dan bertakbir sebelum mulai ihram
Berdasarkan hadits Anas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat Zhuhur empat raka’at di Madinah sedangkan kami bersama
beliau, dan beliau shalat ‘Ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at, beliau
menginap di sana sampai pagi, lalu menaiki kendaraan hingga sampai di
Baidha, kemudian beliau memuji Allah bertasbih dan bertakbir, lalu
beliau berihram untuk haji dan umrah.”
7. Berihram menghadap Kiblat
Berdasarkan hadits Nafi’, ia berkata, “Dahulu ketika Ibnu ‘Umar selesai
melaksanakan shalat Shubuh di Dzul Hulaifah, ia memerintahkan agar
rombongan mulai berjalan. Maka rombongan pun berjalan, lalu ia naik ke
kendaraan. Ketika rombongan telah sama rata, ia berdiri menghadap Kiblat
dan bertalbiyah… Ia mengi-ra dengan pasti bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan hal ini.”
b. Sunnah-Sunnah Ketika Masuk Kota Makkah:
11. Memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘Ulya (jalan atas)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dulu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memasuki kota Makkah dari ats-Tsaniyah al-‘ulya (jalan
atas) dan keluar dari ats-Tsaniyah as-Sufla (jalan bawah).”
12. Mendahulukan kaki kanan ketika masuk ke dalam masjid haram dan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ
الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ
رَحْمَتِكَ.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya Yang
Mahamulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang terkutuk.
Dengan Nama Allah dan semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Muhammad, Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku.”
13. Mengangkat tangan ketika melihat Ka’bah
Apabila ia melihat Ka’bah, mengangkat tangan jika mau, karena hal ini
benar shahih dari Ibnu ‘Abbas. Kemudian berdo’a dengan do’a yang mudah
dan apabila ia mau berdoa dengan do’anya Umar juga baik, sebab do’a ini
pun shahih dari ‘Umar. Do’a beliau:
اَللّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ.
“Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan dan dari-Mu keselamatan, serta hidupkanlah kami, wahai Rabb kami dengan keselamatan.”
c. Sunah-Sunnah Thawaf
15. Mengusap Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Aku
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Makkah
mengusap Hajar Aswad di awal thawaf, beliau thawaf sambil berlari-lari
kecil di tiga putaran pertama dari tujuh putaran thawaf.”
16. Mencium Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Zaid bin Aslam dari ayahnya, ia berkata, “Aku melihat
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mencium Hajar As-wad dan
berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
17. Sujud di atas Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku melihat ‘Umar bin
al-Khaththab mencium Hajar Aswad lalu sujud di atasnya kemudian ia
kembali menciumnya dan sujud di atasnya, kemudian ia berkata, ‘Beginilah
aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’”
18. Bertakbir setiap melewati Hajar Aswad
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam thawaf mengelilingi Ka’bah di atas untanya, setiap beliau
melewati Hajar Aswad beliau memberi isyarat dengan sesuatu yang ada pada
beliau kemudian bertakbir.”
19. Berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf yang pertama kali (thawaf qudum)
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika thawaf mengitari Ka’bah, thawaf yang pertama
kali, beliau berlari-lari kecil tiga putaran dan berjalan empat putaran,
dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir kembali di Hajar Aswad.”
20. Mengusap rukun Yamani
Berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Ka’bah kecuali dua
rukun Yamani (rukun Yamani dan Hajar Aswad).”
21. Berdo’a di antara dua rukun (rukun Yamani dan Hajar Aswad) dengan do’a sebagai berikut:
رَبَّنَآ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa Neraka.”
22. Shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim setelah thawaf
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Setelah tiba, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali,
kemudian beliau shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim dan sa’i
antara Shafa dan Marwah.” Selanjutnya beliau berkata:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ.
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat contoh yang baik bagimu.”
23. Sebelum shalat di belakang Maqam Ibrahim membaca:
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّىٰ.
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim itu tempat shalat.”
Kemudian membaca dalam shalat dua raka’at itu surat al-Ikhlash dan
surat al-Kaafirun, berdasarkan hadits Jabir bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sampai di maqam Ibrahim
Alaihissallam beliau membaca:
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ مُصَلًّىٰ.
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim itu tempat shalat.”
Lalu beliau shalat dua raka’at, beliau membaca dalam shalat dua
raka’at itu { قُلْ هُوَ اللّهُ أَحَدٌ} dan{قُلْ يا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ}.
24. Iltizam tempat di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah dengan cara menempelkan dada, wajah dan lengannya pada Ka’bah
Berdasarkan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia
berkata, “Aku pernah thawaf bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, ketika kami
telah selesai dari tujuh putaran tersebut kami shalat di belakang
Ka’bah. Lalu aku bertanya, ‘Apakah engkau tidak memohon perlindungan
kepada Allah?’ Ia menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah dari api
Neraka.’”
Berkata (perawi), “Setelah itu ia pergi dan mengusap Hajar Aswad.
Lalu beliau berdiri di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah, beliau
menempelkan dada, tangannya dan pipinya ke dinding Ka’bah, kemudian
berkata, ‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
hal ini.’”
25. Minum air zamzam dan mencuci kepala dengannya
Berdasarkan hadits Jabir bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan hal tersebut.
d. Sunnah-Sunnah Sa’i:
26. Mengusap Hajar Aswad (seperti yang telah lalu)
27. Membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ
الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ
وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah.
Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullaah atau ber’umrah, maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan suatu ke-bajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Mahamen syukuri kebaikan lagi Mahamengetahui.”
[Al-Baqarah: 158]
Kemudian membaca:
نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ.
“Kami mulai dengan apa yang dimulai oleh Allah.”
Bacaan ini dibaca setelah dekat dengan Shafa ketika mau melakukan sa’i.[23]
28. Berdo’a di Shafa
Ketika berada di Shafa, menghadap Kiblat dan membaca:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ
وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Yang
Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya
segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang
berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata. Yang melaksanakan
janji-Nya, membela hamba-Nya (Muhammad) dan mengalahkan golongan musuh
sendirian.”
29. Berlari-lari kecil dengan sungguh-sungguh antara dua tanda hijau
30. Ketika berada di Marwah mengerjakan seperti apa yang dilakukan di Shafa, baik menghadap Kiblat, bertakbir maupun berdo’a
e. Sunnah-Sunnah Ketika Keluar dari Mina:
31. Ihram untuk haji pada hari Tarwiyah dari tempat tinggal masing-masing
32. Shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’ di Mina pada hari
Tarwiyah, serta menginap di sana hingga shalat Shubuh dan matahari telah
terbit
33. Pada hari ‘Arafah, menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Namirah
34. Tidak meninggalkan ‘Arafah sebelum matahari tenggelam.
F. Larangan Dalam Haji
Bagi jemaah haji atau umrah terdapat larangan yang tidak boleh diabaikan. Larangan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Larangan bagi jemaah haji laki – laki memakai pakaian yang dijahit
dan memakai tutup kepala.
2)
Larangan bagi jemaah perempuan memakai tutup muka dan sarung tangan.
Larangan bagi jemaah haji laki – laki dan perempuan antara lain
memakai wewangian, mencabut dan mencukur rambut dan bulu badan, memotong
kuku, menikah atau menjadi wali nikah, berhubungan suami istri,
memburu, membunuh binatang, berkata yang tidak senonoh, dan berbuat
maksiat.
H. Pengertian dan Jenis Dam
Pengertian Dam dari segi bahasa ialah darah, yakni denda yang
dikenakan oleh jemaah haji yang melanggar larangan atau meninggalkan
wajib haji atau umroh.
1. Melanggar pantang larang dalam Ihram
2. Meninggalkan perkara-perkara yang wajib dalam ibadah haji atau umrah
3. Mengerjakan Haji Tamattu’ atau Haji Qiran, menurut syarat-syaratnya
4. Berlaku Ihsar bagi orang yang berniat ihram
5. Melanggar Nazar semasa mengerjakan haji
6. Luput Wuquf di Arafah
7. Meninggalkan Tawaf Wada’
Dam sebagai pengganti
Ada beberapa hal wajib saat melakukan ibadah haji yang bisa digantikan dengan Dam sebagai berikut ini:
1. Dam Hadyu.
Yaitu dam yang diwajibkan bagi mereka yang melaksanakan haji Tamattu’
atau haji Qiran, dan jika tidak mampu membeli binatang hadyu, maka
wajib melaksanakan puasa selama 10 hari. Tiga hari dilakukan pada masa
haji dan yang tujuh hari dilakukan setelah kembali ke kampung halaman.
Hal ini berdasarkan pada firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
“…Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam
bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) binatang hadyu yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang hadyu atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apa-bila kamu telah pulang kembali…”
2. Dam Fidyah (tebusan).
Yaitu dam yang diwajibkan atas orang yang sedang dalam ihram, lalu
mencukur rambutnya karena sakit atau sesuatu yang mengganggu kepalanya,
seperti kutu dan lain sebagainya, berdasarkan pada firman Allah:
“…Maka jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya untuk berfidyah, yaitu
berpuasa, bersedekah atau berkurban…”
Ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam
sebagaimana tersebut dalam hadits Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiallaahu anhu ,
ia berkata:
“Bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melewatinya pada
masa Hudaibiyyah, lalu berkata: ‘Sungguh kutu kepalamu telah
menggang-gumu?, Ia berkata: ‘Ya!’Maka beliaupun bersabda: ‘Cukurlah
kemudian sembelih-lah seekor kambing atau berpuasalah tiga hari atau
berilah makan berupa tiga sha’ kurma yang dibagikan kepada enam orang
miskin.'”
3. Dam Jazaa’.
Yaitu dam yang wajib dibayar oleh orang yang sedang berihram bila
membu-nuh binatang buruan darat. Adapun bina-tang buruan laut, maka
tidak ada dendanya.
4. Dam Ihshar.
Dam yang wajib dibayar oleh jama’ah haji yang tertahan atau terkepung
sehingga tidak dapat menyempurnakan manasik hajinya, baik tertahannya
disebabkan karena sakit, terhalang oleh musuh atau sebab-sebab lainnya,
sementara dia tidak mengucapkan persyaratannya pada awal ihramnya. Hal
ini berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala
“… Maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), sembelihlah binatang hadyu yang mudah didapat…”
5. Dam Jima’.
Yaitu dam yang diwajibkan kepada jama’ah haji yang dengan sengaja mengum-puli isterinya ditengah pelaksanaan iba-dah haji.
Dalam kitabnya “Ahkaamul Hajj” Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim
al-Qar’awi menuturkan: “Adapun orang yang mengerjakan hal-hal yang
menjerumuskan kepada jima’ (senggama), maka wajib bagi-nya menyembelih
seekor kambing untuk para fuqara’ yang bermukim di tanah Haram. Adapun
jima’, apabila dilakukan sebelum tahallul yang pertama (sebelum melempar
jumratul ‘Aqabah,-Pent), maka perbuatan itu merusak (membatalkan)
ibadah hajinya, hanya saja ibadah tersebut wajib disempurnakan dan wajib
bagi pelakunya menyembelih seekor unta untuk dibagikan kepada para
fuqara’ di tanah suci. Apabila tidak mendapatkan/tidak mampu, maka wajib
berpuasa selama se-puluh hari, tiga hari pada masa haji dan tujuh hari
jika telah kembali kepada ke-luarganya. Hal ini berdasarkan pada
pendapat ‘Umar (bin al-Khaththab), ‘Ali (bin Abi Thalib) dan Abu
Hurairah Radhiallaahu anhu , se-bagaimana yang diriwayatkan oleh Malik
dan yang lainnya. Demikian pula pendapat tersebut adalah pendapat
‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan ‘Abdul-lah bin ‘Amr bin
al-‘Ash Radhiallaahu anhu , sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad,
al-Hakim serta ad-Daruqthni dan yang lainnya dari mereka.”
I. Fungsi Haji
Diantara fungsi haji adalah sebagai berikut.
a. Hikmah Haji Secara Umum
1) Pernyataan ketaatan seorang kepada Tuhannya.
2) Ibadah haji merupakan sarana untuk menunjukkan kebesaran Allah.
3) Ibadah haji merupakan ujian iman
4) Ibadah haji merupakan kongres akbar
5) Ibadah haji memberikan jaminan yang besar dari Allah berupa ampunan dari dosa dan surga.
6) Mempererat ukuwah Islamiyah antarsesama muslim dari berbagai penjuru dunia.
7) Perwujudan solidaritas Islam yang tidak terbatas oleh suku, bangsa, ras, kulit, dan negara.
b. Hikmah Haji Bagi Pelakunya
1) Memperteguh iman dan takwa kepada Allah swt.
2) Dapat mengambil pelajaran dari segal penderitaan yang dirasakan selama mengerjakan ibadah haji.
3) Memperkuat fisik dan mental
4) Menumbuhkan semangat berkorban karena ibadah haji memerlukan pengorbanan yang besar, baik tenaga, waktu, maupun biaya.
5) Mengenal tempat – tempat bersejarah, seperti Ka’bah, Bukit Safa dan Marwah, sumur zam -zam, dan Hajar Aswad.
Sumber : https://elfworldshinminrhi160598.wordpress.com/2013/12/07/pengertian-hukum-sunnah-jenis-tata-cara-dan-manfaat-haji/